St. Agustinus, seorang filsafat dari masa zaman pertengahan, mempunyai suatu pemikiran bahwa, Keadilan itulah yang mesti menjadi dasar hukum. Tanpa keadilan, apapun tidak layak disebut hukum. (Lex esse von vadatur, quae justa non fuerit)
Keadilan pada hakikatnya adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan hak dan kewajibannya. Yang menjadi hak setiap orang adalah diakui dan diperlakukan sesuai dengan harkat dan martabatnya yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa membedakan suku, derajat, keturunan, harta, pendidikan maupun agamanya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara masalah keadilan menjadi masalah penting dalam rangka memberikan jaminan rasa aman dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, hak asasi manusia dan memperkukuh persatuan dan kesataun bangsa.
Keterbukaan dalam pengertian sikap dan perilaku yang dilakukan pemerintah dan pejabat publik dewasa ini, merupakan tuntutan yang tidak dapat dihindari dengan cara apapun dan oleh negara manapun terkait dengan derasnya arus informasi dan teknologi di era global dalam berbagai bidang kehidupan.
Keterbukaan arus informasi dan teknologi, khususnya di bidang hukum, telah menjadi bahan pemikiran bagi setiap negara untuk dapat melaksanakan jaminan keadilan bagi warga negaranya sejalan dengan tuntutan supremasi hukum, demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Perbuatan adil, tidak hanya merupakan idaman manusia, tetapi juga diperintah Tuhan apapun agamanya. Bila suatu negara terutama pemerintah, pejabat publik dan aparat penegak hukumnya mampu memperlakukan warganya dengan “adil†dalam segala bidang, niscaya kepedulian (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of responsbility) warga negara dalam rangka membangun negara serta memperkukuh persatuan dan kesatuan dapat terwujud.
Keadilan pada umumnya relatif dan kadang sulit diperoleh. Untuk memperoleh keadilan biasanya diperlukan pihak ketiga sebagai penegak, dengan harapan pihak tersebut dapat bertindak adil terhadap pokok-pokok yang berselisih. Oleh karena itu pihak ketiga tersebut harus netral, tidak boleh menguntungkan salah satu pihak. Jadi adanya pihak ketiga dalam rangka menghindari konfrontatif antara yang sedang berselisih.
Dalam rangka jaminan keadilan di dalam suatu negara diperlukan peraturan yang disebut Undang-undang atau hukum. Hukum merupakan suatu sistem norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. Oleh karena itu apabila ada seseorang yang merasa mendapatkan ketidak-adilan, maka ia berhak mengajukan tuntutan.
Setiap masyarakat memerlukan hukum, dikatakan “dimana ada masyarakat disana ada hukum†(ubi societes ini ius). Hukum diciptakan untuk mencegah agar konflik yang terjadi dapat dipecahkan secara terbuka. Pemecahannya bukan atas dasar siapa yang kuat, melainkan berdasarkan aturan hukum yang ada, dan tidak membedakan antara orang kuat dan orang lemah, serta orang kaya maupun miskin.
Berdasarkan hal tersebut, maka keadilan merupakan salah satu ciri hukum dan jaminan keadilan bagi setiap orang, yang hanya bisa tercapai apabila hukum diterapkan dengan tanpa memperhatikan aspek subjektifitas.
Pelaksanaan jaminan keadilan sangat dituntut oleh penyelenggaraan negara (pemerintah dan pejabat publik) yang baik, bersih dan transparan. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik tersebut didasarkan pada beberapa asas umum, di antaranya adalah;
Asas Kepastian hukum (principle of legal security = Rechts zekerheid beginsed).
Asas ini menghendaki agar sikap dan keputusan pejabat administrasi negara yang mana pun tidak boleh menimbulkan keguncangan hukum atau status hukum. Dalam menjamin adanya kepastian hukum, pejabat administrasi negara wajib menentukan masa peralihan untuk menetapkan peraturan baru atau perubahan status hukum suatu peraturan.
Tanpa masa peralihan, suatu keputusan administrasi negara yang sah (legal) secara mendadak (tanpa masa peralihan) menjadi tidak sah sehingga dapat merugikan masyarakat. Keadaan tersebut akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan dapat mengurangi kepercayaan masyarakat kepada hukum, peraturan-peraturan serta wibawa pejabat administrasi negara.
Asas Keseimbangan
Asas ini menyatakan bahwa tindakan disiplin yang dijatuhkan oleh pejabat administrasi negara harus seimbang dengan kesalahan yang dibuatnya. Hal ini diatur dalam undang-undang kepegawaian dan peraturan tentang pegawai negeri umum (Ambtenarenwet juncto algemene rijksambte narenreglement).
Dalam undang-undang ini terdapat banyak cara untuk menjatuhkan putusan terhadap suatu kelalaian, tetapi harus diingat tindakan yang dijatuhkan harus seimbang/sebanding dengan kelalaian yang dibuat.
Asas Kesamaan
Dalam asas ini dinyatakan bahwa pejabat administrasi negara dalam menjatuhkan keputusan tanpa pandang bulu. Sebelum keputusan diambil, harus dipikirkan dulu secara masak-masak agar untuk kasus yang sama dapat diambil keputusan yang sama pula.
Pejabat Administrasi negara tidak boleh melakukan diskriminasi dalam mengambil keputusan. Jika beberapa orang dalam situasi dan kondisi hukum yang sama mengajukan suatu permohonan, mereka harus mendapatkan keputusan dikenai syaratsyarat tambahan yang subjektif.
Misalnya, karena mereka mendapat masalah pribadi sehingga keputusannya lebih berat. Hal demikian sangat terlarang karena selain akan merusak tujuan hukum objektif juga akan merongrong hukum dan menurunkan wibawa pejabat administrasi negara.
Asas Larangan Kesewenang-wenangan
Bahwa keputusan sewenang-wenangan adalah keputusan yang tidak mempertimbangkan semua faktor yang relevan secara lengkap dan wajar sehingga secara akal kurang sesuai. Contohnya, sikap sewenang-wenang pejabat administrasi negara ialah menolak meninjau kembali keputusannya yang dianggap kurang wajar oleh masyarakat.
Pada prinsipnya, keputusan yang sewenang-wenang adalah dilarang dan keputusan semacam itu dapat digugat melalui pengadilan Perdata (pasal 1365 KUH Perdata).
Asas Larangan Penyalahgunaan wewenang (detoumement de pouvoir)
Asas ini menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang adalah bilamana suatu wewenang oleh pejabat yang bersangkutan dipergunakan untuk tujuan yang bertentangan atau menyimpang dari apa yang telah ditetapkan semula oleh undang-undang.
Asas Bertindak Cermat
Jika pejabat administrasi negara telah mengambil keputusan dengan kurang hati-hati sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat, keputusan tersebut secara otomatis menjadi berat. Jika terjadi tanpa menunggu instruksi atasan atau pejabat, yang bersangkutan wajib memperbaiki keputusannya dengan menerbitkan keputusan baru.
Asas Perlakukan yang Jujur
Asas ini menghendaki adanya pemberian kebebasan yang seluas-luasnya kepada warga masyarakat untuk kebenaran. Asas ini memberikan penghargaan yang lebih pada masyarakat dalam mencari kebenaran tersebut melalui instansi banding.
Pengajuan banding ini dapat dilakukan pada pejabat administrasi negara yang lebih tinggi tingkatannya (administratief beroep) atau kepada badan-badan peradilan (judicial review). Asas ini penting untuk diketahui masyarakat karena pejabat administrasi negara diberikan kebebasan untuk bertindak. Dengan adanya asas ini berarti masyarakat dapat melakukan banding.
Asas meniadakan Akibat Suatu keputusan yang Batal
Dalam asas ini dimaksudkan bahwa keputusan Centrale Raad van Beroep, 20 september 1920 tentang seorang pegawai yang berdasarkan Peradilan kepegawaian (Amotenarengerecht) tingkat pertama diberhentikan, tetapi oleh peradilan tingkat banding, putusan pemberhentian dibatalkan.
Di Indonesia, asas ini telah memperoleh pengaturannya dalam pasal 9 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang berbunyi; “Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitas
Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum
Dalam asas ini bahwa tindakan aktif dan positif dari pejabat administrasi negara adalah penyelenggaraan kepentingan umum. Kepentingan umum meliputi kepentingan nasional, yaitu kepentingan bangsa, masyarakat, dan negara. Berdasarkan asas ini, kepentingan umum harus lebih didahulukan daripada kepentingan individu, yaitu memberikan hak mutlak pada hak-hak pribadi.