Hukum negara adalah harus dipatuhi karena negara adalah hasil kesepakatan sosial (social treaty). Setiap warga negara secara implisit telah berada dalam kontrak sosial untuk mematuhi hukum yang berlaku di negara itu. Sebagai warga negara yang mengetahui hukum yang berlaku dan sebagai warga polis.
Socrates pantang menolak atau mengelakan diri dari jeratan hukum atas dirinya. Meski ia tahu bahwa peradilan itu sesat, ia merasa wajib tunduk pada proses hukum itu.
Kontrak sosial adalah sebuah perjanjian antara rakyat dengan para pemimpinnya, atau antara manusia-manusia yang tergabung di dalam komunitas tertentu. Secara tradisional, istilah kontrak sosial digunakan di dalam argumentasi yang berupaya menjelaskan hakikat dari kegiatan berpolitik atau menjelaskan tanggung jawab dari pemimpin kepada rakyat.
Karena itu, pemilihan umum tak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah akan keabsahan kekuasaannya, melainkan juga sesuatu hal yang terpenting sebagai sarana bagi rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan bersama berbangsa dan bernegara.
Pemilu sebagai Perwujudan Kontrak Sosial
Secara universal pemilihan umum merupakan institusi sekaligus praktek riil politik dalam rangka untuk memilih pemimpin politik nasional dan lokal. Praktek politik seperti ini nampaknya telah menjadi agenda yang bersifat permanen, yang dapat dijalankan setiap lima tahun sekali mulai dari era Orde Lama, Orde Baru, dan hingga Orde Reformasi.
Kondisi demikian yang menurut Dahl, merupakan gambaran ideal, dan maksimal bagi suatu pemerintahan demokrasi di zaman modern bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sederhana tidak lain merupakan suatu sistem politik di mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala.
Karena itu, pemilihan umum tak hanya berkaitan dengan kebutuhan pemerintah akan keabsahan kekuasaannya, melainkan juga sesuatu hal yang terpenting sebagai sarana bagi rakyat untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka dalam kehidupan bersama berbangsa dan bernegara.
Pemilihan umum pada hakekatnya sebagai spirit moral yang menjadi inti pemikiran kekuasaan politik yang di jalankan oleh tiga lembaga negara yaitu legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif dalam kurun waktu selama lima tahun dan dipilih secara sah berdasarkan kehendak rakyat melalui pemilihan umum itu sendiri.