Kedaulatan Hukum Pajak Internasional di Indonesia

Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap wajib pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto.

Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia. Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain.

Ketentuan pajak internasional dibagi dua, yaitu:
1. ketentuan domestik, dan
2. tax treaty, termasuk MLI (Multilateral Instrument).

Ketentuan pajak internasional di ketentuan domestik diatur di Undang-Undang PPh. Berikut pasal-pasal di Undang-Undang PPh terkait pajak ternasional:
Pasal 2 tentang Subjek Pajak Dalam Negeri (ayat 3), Subjek Pajak Luar Negeri (ayat 4), dan Bentuk Usaha Tetap (ayat 5).
Pasal 3 mengatur yang dinyatakan bukan subjek pajak.
Pasal 5 mengatur objek pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Pasal 15 mengatur norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto pelayaran, atau penerbangan internasional, dan kantor perwakilan dagang asing (KPDA).
Pasal 18 mengatur perbandingan utang terhadap modal (ayat 1), Controlled Foreign Company (ayat 2), Hubungan Istimewa (ayat 3, 3D, dan 4), Prosedur Persetujuan Bersama dan Kesepakatan Harga Transfer (ayat 3A), Special Purpose Company (ayat 3B, dan 3C).
Pasal 24 tentang kredit pajak luar negeri
Pasal 26 tentang objek pajak dari subjek pajak luar negeri
Pasal 32A tentang kewenangan melakukan tax treaty.

Ada tiga ketentuan Pajak Internasional yaitu :

a. Pendapatan nasional
– Fungsi pajak bagi suatu negara adalah untuk mengisi pundi-pundi penerimaan
– Pengenaan pajak pada subjek pajak dalam negeri yang memperoleh penghasilan dari dalam maupun dari luar negeri
– Subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari sumber yang berasal dari negaranya.

b. Kesetaraan
– Adil dalam atas klaim hak pemajakan internasional tetap dengan memperhatikan klaim hak pemajakan negara lain
– Perlakuan secara sama pada penghasilan yang diterima oleh subjek pajak dalam negeri, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.

c. Efisiensi Ekonomi
Merujuk pada pengembangan iklim ekonomi yang efisien, yaitu suatu desain sistem pajak internasional yang bersifat netral.

Suatu Negara yang merdeka memiliki kedaulatan penuh dalam mengatur negaranya termasuk pengenaan Pajak, pengenaan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu atau badan hukum terdapat “connection factor” antara negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan, dalam hal ini Negara memiliki kewenangan penuh dalam pengaturan serta pengenaan setiap pajak untuk itu mengenai perpajakan internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa peraturan pajak antara lain:

1. Peraturan pajak nasional yang mengatur Perjanjian penghindaran Pajak Berganda (Pasal 2 A Undang-Undang PPh) Mengenai “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan pengelakan pajak”,
2. Peraturan perpajakan nasional (Pasal 3 UU PPh) Tentang: “Bukan subjek pajak”,
3. Peraturan Perpajakan nasional (Ps 2 UU PPh) Tentang “Subjek pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)”,
4. Peraturan Perpajakan Nasional (Ps 18 UU PPh) Tentang “Hubungan Istimewa bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan”,
5. Peraturan perpajakan nasional (Pasal 24 UU PPh) Tentang : “Kredit Pajak Luar Negeri.”

Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai subjek pajak luar negeri menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) Nomor 36 Tahun 2008. Kriteria disebut Wajib Pajak subjek Luar Negeri adalah sebagai berikut ini:
• Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia lebih 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha tetap (BUT) di Indonesia.
• Orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang tidak tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, tidak dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui kegiatan melalui Bentuk Usaha tetap (BUT) di Indonesia.

Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (selanjutnya disebut sebagai Tax treaty) merupakan solusi dalam pembagian hak atas pemajakan dari suatu transaksi internasional. Dengan adanya tax treaty ini maka telah dibuat suatu skenario dimana setiap negara akan memperoleh hak pemajakan atas suatu transaksi lintas batas negara. Dalam tax treaty dikenal ada tiga hak pemajakan yaitu hak pemajakan penuh, hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak pemajakan.[1] Dengan demikian jelas bahwa setiap Negara akan mendapatkan hasil dari pemajakan yang dilakukan secara proporsional. Namun ada satu hal yang harus diperhatikan dalam penerapan tax treaty sehingga dapat dipastikan bahwa keberadaan perjanjian internasional yang berbentuk law making treaties tersebut harus diterapkan yaitu wajib dilaksanakan dengan itikad baik (dikenal dengan asas Pacta Sunt Servada).

Suatu Negara yang merdeka memiliki kedaulatan penuh dalam mengatur negaranya termasuk pengenaan Pajak, pengenaan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu atau badan hukum terdapat “ connection factor” antara negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan, dalam hal ini Negara memiliki kewenangan penuh dalam pengaturan serta pengenaan setiap pajak untuk itu mengenai perpajakan internasional yang diberlakukan di Indonesia diatur sepenuhnya dalam beberapa peraturan pajak antara lain :

1. Peraturan pajak nasional yang mengatur Perjanjian penghindaran Pajak Berganda (Pasal 2 A Undang-Undang PPh) Mengenai “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah Negara lain dalam rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan pengelakan pajak”,
2. Peraturan perpajakan nasional (Pasal 3 UU PPh) Tentang: “Tidak termasuk subjek pajak”,
3. Peraturan Perpajakan nasional (Ps 2 UU PPh) Tentang “Subjek pajak Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT)”,
4. Peraturan Perpajakan Nasional (Ps 18 UU PPh) Tentang “Hubungan Istimewa bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan”,
5. Peraturan perpajakan nasional (Pasal 24 UU PPh) Tentang : “Kredit Pajak Luar Negeri.”

Yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah:
a. Kantor perwakilan negara asing;

b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat:

– Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
– Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
– Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Sedangkan organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Menurut undang-undang, ada 3 golongan bukan subjek pajak: kantor perwakilan negara asing; pejabat diplomatik; dan organisasi internasional. Status bukan subjek pajak, walaupun berkantor di Indonesia dan melakukan kegiatan di Indonesia, tetapi tetap dianggap “tidak berada” di Indonesia.

Organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/ perhimpunan/forum antar pemerintah atau non-pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan kerjasama internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama. (Pasal 1 PMK-215/PMK.03/2008 stdd PMK-166/PMK.011/2012)

Pengecualian sebagai subjek pajak bagi pejabat-pejabat tersebut tidak berlaku apabila mereka memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya atau mereka adalah Warga Negara Indonesia. Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing memperoleh penghasilan lain di Indonesia di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenai pajak atas penghasilan lain tersebut.

Hubungan istimewa adalah hubungan yang dimiliki antar pihak-pihak yang memiliki hubungan afiliasi, hubungan keluarga dan hubungan kepemilikan. Setiap transaksi atau transfer pricing dalam perpajakan harus didokumentasikan.

Ketidakwajaran dalam perpajakan adalah munculnya suatu transaksi transfer pricing antar pihak yang memiliki hubungan istimewa dalam besaran yang tidak wajar dan dikategorikan upaya menimbulkan manipulasi transfer pricing.

Istilah “Hubungan istimewa” biasanya digunakan dalam kasus-kasus perpajakan yang berkaitan dengan transaksi afiliasi atau meminjam istilah akuntansi, transaksi para pihak yang berelasi. Meski demikian, istilah hubungan istimewa tidak serta merta identik dengan hubungan pihak-pihak berelasi

Suatu hubungan para pihak, dalam hal ini Wajib Pajak, dapat dikatakan memiliki hubungan istimewa apabila terdapat suatu kondisi yang diduga dapat mempengaruhi pengambilan keputusan tidak secara wajar di antara pihak-pihak.

Negara yang sudah mengadakan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) atau tax treaty, tidak serta merta dapat mengenakan hak pemajakan berdasarkan hukum domestiknya. Namun, pengenaan hak pemajakan tersebut harus dibatasi berdasarkan tax treaty yang telah disetujuinya. Kedaulatan suatu negara untuk mengenakan pajak merupakan sifat yang absolut yang terikat dalam eksistensi kedaulatan negara itu sendiri. Kedaulatan suatu negara lahir bersamaan dengan negara itu serta mendapatkan pengakuan dari berbagai negara atas eksistensinya. Dengan kata lain, kedaulatan pengenaan pajak lahir dengan eksistensi sebuah negara.

Kedaulatan yang sifatnya absolut tersebut tentunya tidak dapat dibatasi oleh apapun juga, termasuk terhadap kedaulatan negara lain untuk mengenakan pajak, terlebih atas suatu tax treaty. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pengenaan pajak berganda. Namun demikian, kedaulatan negara justru dapat dibatasi oleh kedaulatan negara itu sendiri. Adapun syarat utama negara dapat memiliki tax treaty adalah adanya kedaulatan.

Sehubungan dengan hal tersebut, sangat penting apabila terhadap suatu tax treaty yang ditandatangani oleh negara, khususnya Indonesia, disematkan di dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Tidak hanya menyoal atas kekuatan hukum terhadap tax treaty tersebut, tapi juga menyoal kedaulatan negara yang akan diaplikasikan.

Ketentuan di Indonesia terkait pengikatan tax treaty diatur di dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional sebagaimana ketentuan dalam Pasal 2 yang berbunyi Menteri memberikan pertimbangan politis dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional, dengan berkonsultasi dengan DPR dalam hal menyangkut kepentingan publik.

Penjelasan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, menjelaskan bahwa materi yang menyangkut kepentingan publik diatur di dalam Pasal 10. Lebih lanjut, Pasal 10 memuat materi-materi yang berkenaan dengan kepentingan publik di mana salah satunya adalah kedaulatan atau hak berdaulan negara.

Sebagaimana ketentuan dalam pasal 32 A Undang-Undang No.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 TAhun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) ditegaskan bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak (tax treaty).

Apabila Undang-Undang No.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (PPh) dihubungkan dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dapat dianalisa bahwa pemerintah berwenang untuk melakukan tax treaty yang dalam proses pembuatan dan pengesahannya dilakukan dengan berkonsultasi dengan DPR, mengingat tax treaty merupakan bagian dari kepentingan publik.

UU No. 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah diubah dengan UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) khususnya dalam pasal 26 diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal ini menunjukkan bahwa contoh adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia.

Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain. Kedaulatan pemajakan sebagai kedaulatan suatu negara untuk bertindak merdeka dalam lapangan pajak.

Dalam lapangan hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara, dan bebas dari pengaruh negara lain. Sesuai dengan asas yang disebutkan dimuka, maka kedaulatan pemajakan dapat dilaksanakan secara merdeka dalam lapangan hukum pajak. Adapun kekuasaan tersebut adalah kekuasaan membuat undang-undang dan melaksanakan ketentuan tersebut dengan baik. (R. Santoso Brotodihardjo, 1998)

Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatannegara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebasmengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruhkekuasaan negara lain. Asas kedaulatan pemajakan hak spesial darikedaulatan negara yang dapat dinyatakan sebagai kedaulatan suatu negarauntuk bertindak bebas dalam lapangan pajak.

Berbicara masalah Hukum Pajak Internasional, khususnya Hukum Pajak Internasional Indonesia secara umum dapat dikatakan barlaku terbatas hanya pada subjeknya dan objeknya yang berada di wilayah Indonesia saja. Dengan kata lain terhadap orang atau badan yang tidak bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia pada dasarnya tidak akan dikenakan pajak berdasarkan UU Indonesia. Namun demikian, Hukum Pajak Internasional dapat berkaitan dengan subjek maupun objek yang berada di luar wilayah Indonesia sepanjang ada hubungan yang erat dalam hal terdapat hubungan ekonomis atau hubungan kenegaraan dengan Indonesia.

Pajak internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan pelaksanaannya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta Sunservanda). Pada dasarnya, ketentuan pajak internasional dari suatu negara mengatur dua hal, yaitu tentang pemajakan atas subjek pajak dalam negeri suatu negara yang menerima penghasilan dari sumber di luar negaranya, dan mengatur pemajakan atas subjek pajak luar negeri yang menerima penghasilan dari sumber di dalam daerah teritorial suatu negara. Sebab, tiap-tiap negara memiliki peraturan pajak yang berbeda-beda. Tentunya, ini akan menimbulkan sengketa ketika terjadi transaksi antarnegara tanpa adanya hukum yang mengatur pajak tersebut.

Terkait hal ini, hubungan istimewa sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (4) UU PPh dianggap ada apabila:
1. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain; hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih; atau hubungan di antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir;
2. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat.

Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan:
– Kepemilikan atau penyertaan modal; atau
– Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
Selain karena hal-hal tersebut, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau perkawinan.

Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung.

Kita mengetahui bahwa negara memiliki kedaulatan untuk mengenakan pajak terhadap setiap penghasilan setiap individu dan terdapat “connecting factors” antara Negara dengan suatu transaksi/peristiwa ekonomi yang menimbulkan penghasilan. Dalam Undang- Undang pajak menerapkan dua prinsip berdasarkan “connecting factors” tersebut yaitu :

1. Residence Principle (Azas Residensi), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “personal attachment”, seperti: residensi, domisili, kewarganegaraan, tempat pendirian, tempat kedudukan manajemen. (Worldwide Income)

2, Source Principle (Azas Sumber), Hak Negara mengenakan pajak kepada seseorang (individu atau badan) karena terdapat “economic attachment” yaitu penghasilan yang bersumber di Negara tersebut.

Kedaulatan suatu negara untuk mengenakan pajak merupakan sifat yang absolut yang terikat dalam eksistensi kedaulatan negara itu sendiri. Kedaulatan suatu negara lahir bersamaan dengan negara itu serta mendapatkan pengakuan dari berbagai negara atas eksistensinya. Dengan kata lain, kedaulatan pengenaan pajak lahir dengan eksistensi sebuah negara.

Kedaulatan yang sifatnya absolut tersebut tentunya tidak dapat dibatasi oleh apapun juga, termasuk terhadap kedaulatan negara lain untuk mengenakan pajak, terlebih atas suatu tax treaty. Hal inilah yang seringkali menimbulkan pengenaan pajak berganda. Namun demikian, kedaulatan negara justru dapat dibatasi oleh kedaulatan negara itu sendiri. Adapun syarat utama negara dapat memiliki tax treaty adalah adanya kedaulatan (Arnold, 2015).

Ini menandaskan bahwa ketika suatu negara tidak mengenakan pajak atas suatu transaksi ekonomi bukan karena menghormati kedaulatan negara lain yang juga akan menetapkan pemajakan atas transaksi tersebut. Akan tetapi, negara tersebut sedang menerapkan kedaulatannya dengan membatasi dirinya untuk tidak ikut mengenakan pajak atau hanya akan mengenakan pajak sampai dengan batas tertentu (Rohatgi, 2002).

Kedaulatan suatu negara untuk mengenakan pajak merupakan sifat yang absolut yang terikat dalam eksistensi kedaulatan negara itu sendiri. Kedaulatan suatu negara lahir bersamaan dengan negara itu serta mendapatkan pengakuan dari berbagai negara atas eksistensinya. Dengan kata lain, kedaulatan pengenaan pajak lahir dengan eksistensi sebuah negara.

Dalam pasal 26 UU No. 17 Tahun 2000 (UU PPh) diatur bahwa terhadap WP luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia antara lain berupa bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, akan dikenakan PPh sebesar 20% dari jumlah bruto. Pasal inilah yang menunjukkan bahwa adanya hubungan ekonomis antara orang asing dengan penghasilan yang diperoleh di Indonesia.

Dalam hukum antar negara terdapat suatu asas mengenai kedaulatan negara yang dinyatakan sebagai kedaulatan setiap negara untuk dengan bebas mengatur kepentingan-kepentingan rumah tangganya sendiri, dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum antar negara dan bebas dari pengaruh kekuasaan negara lain.