Para Pemikir (Filsuf) Hukum

Dalam tulisan ini akan dibahas sejarah perkembangan hukum dan kaitannya dengan para pemikir atau filsuf dari zaman ke zaman.

Abad Pertengahan

Pemikiran yang serba Illahiah (Kristen abad ke 5 dan Islam abad ke 6).

Dalam mengembangkan pemikirannya ternyata tidak terlepas dari pengaruh-pengaruh zaman Yunani kuno. Agustinus misalnya banyak mendapat pengaruh dari pemikiran Plato tentang hubungan antara ide-ide abadi dengan benda-benda duniawi.

Ketaatan manusia terhadap hukum positif bukan lagi karena ia sesuai dengan hukum alam, tetapi karena sesuai dengan kehendak Illahi (Tuhan).

Adanya hukum yang abadi yang berasal dari rasio Tuhan, yang disebut Lex Aeterna.

Melalui Lex Aeterna inilah Tuhan membuat rencana-Nya terhadap alam semesta, selain itu ada juga hukum keduniawian yaitu lex devina.

ST. Agustinus (Abad ke 5 M)

Tentang keberadaan hukum dalam negara, dengan menggunakan teori dua pedang (zwei zwarden theori) yaitu pedang kerohanian dan pedang keduniaan, yang telah dipraktekan pada era abad pertengahan.

Yang dalam aplikasinya membagi hukum pada:

  • hukum yang mengatur keduniawian (negara); dan
  • hukum yang soal-soal keagamaan (kerohanian), dalam suatu organisasi negara dan pemerintahan.

Keadilan itulah yang mesti menjadi dasar hukum. Tanpa keadilan, apapun tidak layak disebut hukum. (lex esse von vadatur, quae justa non fuerit).

Thomas Aquinas (Abad ke 12 M)

Manusia menurut kodratnya adalah merupakan mahluk sosial (Zoon Politicon), sebaga dan kimana yang dikatakan oleh Aristoteles, karena itu selalu hidup bersama-sama dengan orang-orang lain di dalam masyarakat.

Kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal, terdapat pengetahuan yang tidak dapat ditembus oleh akal, dan untuk itu diperlukan Iman.

Pengertian Hukum, yaitu ketentuan akal untuk kebaikan umum, yang dibuat oleh orang yang mengurus masyarakat.

Sama dengan Agustinus enempatkan hukum dalam konteks moral agama Kristen. Hukum wajib diperlukan untuk menegakan kehidupan moral dunia (agama kristen).

Zaman Renaisance (Abad 15-16 M)

Masa kebangkitan kembali untuk kembali berfikir bebas dan mengembangkan ilmu pengetahuan seperti yang dilakukan oleh para pemikir Yunani. Masa penemuan kembali dunia dan manusia.

Masa reinaisance adalah masa reformasi atas hegemonie gereja Katholic Roma (penerapan sistem dua pedang kekuasaan dalam negara).

Ilmu pengetahuan itu harus bebas tanpa campur tangan dari kekuasaan negara.
Pemikiran yang serba moral dan serba Ilahi era Klasik dan abad pertengahan, cenderung ditinggalkan oleh teoritikus zaman perubahan.

Nicollo Machiaveli

Pandangan pada masa itu tidaklah dititikberatkan kepada faktor moral, melainkan hanya satu kosmos yang merupakan dari suatu “natuurproses” sehingga yang dipentingkan adalah “vorm” dan “materie”.

Ia dipengaruhi jiwa zaman yang menganggap bahwa yang terpenting adalah dunia yang dialaminya sendiri.

Dunia tanpa moral dan saling adu kekuatan sehingga dengan demikian faktor kekuasaanlah yang terpenting (maachstaat). (Penguasa harus lincah seperti kancil dan garang seperti singa, dalam mencapai kekuasaan).

Dengan memberikan kekuasaan yang absolute kepada Raja (yang akhirnya bisa menyatukan Italia).

Jean Bodin

Pemerintahan absolute dirumuskan dan dibenarkan dengan diberikan landasan hukumnya oleh Bodin (Lex Six Livres de la Republique). Hukum adalah perintah penguasa yang berdaulat.

Berbeda dengan Machiaveli, Bodin memberikan kekuasaan absolute yang diberikan landasan hukum yang di dalamnya mengandung moral dan moral itu tidak boleh diabaikan.

Kekuasaan raja adalah yang tertinggi atas warga dan rakyat, raja tidak terikat pada hukum (summa in cires ac subditos legibusque soluta potesta). Bentuk pemerintahan yang paling ideal adalah monarki.

Bentuk negara terbaik adalah monarki yang secara turun temurun dan hanya laki-laki sajalah yang boleh memerintah.

Zaman Aufklarung (Abad 17 – 18 M)

Adalah era yang diwarnai “kekuasaan” akal atau rasio manusia, yaitu individu-individu yang rasional, bebas dan otonom. Yang mampu menentukan jalan yang dianggap baik bagi dirinya, termasuk dalam membentuk institusi hidup bersama.

Pemahaman tentang negara yang tidak dianggap sebagai “lembaga alamiah”, melainkan merupakan “mahluk buatan” dari manusia yang bebas dan rasional.

Negara, berikut tatanan yang ada di dalamnya ditentukan secara rasional dan objektif.

Meski hidup dalam negara, masing-masing individu memiliki hak untuk mengembangkan dirinya dalam tuntunan rasio yang dimiliki masing-masing individu.

J.J. Rouseeau

Melihat keberadaan sejati manusia sebagai oknum yang memiliki otonomi etis dan kebebasan mengembankan rasio dan logikanya. Itulah sebabnya, hukum sebagai tatanan publik hanya dapat difahami dalam realitas dasar itu.

Teorinya tentang hukum beranjak dari sebuah pernyataan dasar, mengapa manusia yang semula hidup dalam keadaan alamiah, bebas, dan merdeka, rela menjadi oknum yang “terbelenggu” oleh aturan, karena hukum itu milik publik dan karena itu objektif sifatnya.

Hakikat azasi hukum adalah “volonte generale=kemauan umum”, bukan “volonte de corps = kemauan golongan tertentu”. Sebagai implementasi dari “volente generale” , hukum itu berfungsi sebagai tatanan yang melindungi kepentingan bersama sekaligus kepentingan pribadi, termasuk milik pribadi.

C.L.S. Montesqueu

Dalam suatu bentuk pemerintahan, suatu sistem hukum “harus ditemukan” lebih dari pada “bisa ditemukan”. apa sebabnya ? karena sejatinya sistem hukum merupakan hasil dari “kompleksitas” berbagai faktor empiris dalam kehidupan manusia.

Dengan “ilham” metode empiris dari Aristoteles, Montesquieu berusaha menemukan apa sebabnya suatu negara memiliki seperangkat hukum atau struktur sosial dan politik tertentu? Ia bertolak dari sisi watak masyarakat, yaitu faktor fisik (fisiologis) dan faktor iklim (lingkungan).

Karya besar bagaimana menemukan bentuk negara yang ideal, dengan menemukan teori “Trias Politica”, sebagai penyempurnaan dari gurunya John Locke.

Immanuel Kant

Hukum sebagai produk akal praktis, yang didasarkan kepada Tiap manusia diperlakukan sesuai martabatnya. Ia harus diperlakukan dalam segala hal sebagai subyek, bukan obyek dan orang harus bertindak dengan dalil bahwa apa yang menjadi dasar tindakannya memang merupakan prinsip semesta (rechtstaat).

Prinsip semesta yang dimaksud oleh Immanuel Kant adalah penghargaan akan manusia yang bebas dan otonom (universalitas).

Manusia memiliki hak-hak dasar (human rights), seperti hak menikah dan hak berkontrak, dan hak yang bersifat lahir, yaitu hak untuk memiliki.

Zaman Hukum Positif

Zaman hukum positif menempatkan manusia secara lebih mandiri, dengan rationya manusia dapat menentukan apa yang terbaik untuk dirinya.

Pengetahuan tentang hukum abadi dari Tuhan itu berada diluar jangkauan rasio manusia. (Occam).

Hukum positif tidak perlu harus tergantung pada rasio Tuhan lagi, tetapi dapat sepenuhnya bergantung kepada rasio manusia itu sendiri.

Gagasan-gagasan rasionalisme membawa pengaruh besar dalam hukum, termasuk juga tentang hubungan antara negara dan warganya. (Decrates).

Thomas Hobbes

Hukum sebagai tatanan keamanan. Hukum dilihat sebagai suatu kebutuhan keamanan bagi individu, ditengah orang-orang liar (egois) yang suka saling memangsa (war of all against all-semua memangsa semua), dan saling membinasakan (homo homini lopus) hukum merupakan alat yang penting bagi terciptanya masyarakat yang aman dan damai.

Posisinya sebagai spenganut matrialisme, manusia (sejak zaman purbakala) dikuasai oleh nafsu-nafsu alamiah untuk memperjuangkan kepentingannya sendiri. Tidak ada pengertian yang adil dan atau tidak adil, yang ada hanyalah nafsu-nafsu manusia.

Dalam keadaan seperti ini, terjadilah bellum omnium contra omnes, di mana setiap orang selalu memperlihatkan keinginannya yang sungguh-sungguh egois.

Hugo de Groot

Hukum sebagai kesadaran sosialitas. Setiap orang memiliki kecenderungan hidup bersama.

Tidak hanya itu, memiliki rasio, juga manusia itu ingin hidup secara damai, karena itu setiap orang memiliki kecenderungan hidup bersama..

Sosiabilitas manusia sebagai landasan ontologi dan fondasi segala hukum.

Sumber hukum adalah rasio manusia, karena karakteristik yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah kemampuan akalnya.

Hukum alam adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia, bahwa, hukum alam tidak dapat diubah, oleh Tuhan sekalipun (ekstrim grotius), bahwa, hukum alam itu diperoleh manusia dari akalnya, tapi Tuhanlah yang memberikan kekuatan mengikatnya.

John Locke

Hukum sebagai pelindung hak kodrat. Hukum dibentuk dengan ide legislasi positif yang dihasilkan dari keputusan kehendak. Namun legislasi ini melekat dalam aturan perundang-undangan yang diberi interpretasi hukum positif dengan menjadikannya mengalir dari kehendak rakyat.

Posisi kedaulatan diambil alih oleh kekuasaan konstitusi sebagai kekuatan pengabsah yang melandasi aturan konstitutional.

Teori kontrak sosialnya sangat berbeda dengan kontrak sosialnya Hobes, di mana menyerahkan semua hak-hak individu kepada penguasa yang kuat (raja), Orang-orang yang melakukan kontrak sosial bukanlah orang yang ketakutan dan pasrah, melainkan mereka adalah orang-orang yang tertib dan menghargai kebebasan, hak hidup dan kepemilikan harta sebagai hak bawaan seorang manusia. Gagasan terbaiknya : Lahirnya Trias Politica.

Zaman Abad Ke XIX

Humanisasi hidup dan keadilan sosial tampil sebagai “kekuasaan” yang dihadapi manusia menjelang abad ke 20 (dua puluh).

Tragedi sosial dan kemanusiaan akibat perang dunia I dan II, penindasan kejam oleh rezim politik yang totaliter di zaman Hitler dan Stalin, di samping tragedi-tragedi lain terhadap kemanusiaan. Kondisi-kondisi tragis itu memicu beragam teorisasi mengenai “tertib hukum” manusia. Semisal tawaran tentang ide keadilan sebagai rechtidee dari seluruh tata hukum positif (sebagaimana diajukan Rudbruch).

Kian meluasnya struktur-struktur sosial, budaya, politik dan ekonomi yang meninggirkan yang menindas kelompok-kelompok. Ini memicu teorisasi mengenai “tertib hidup” yang mengandalkan “jalur kritis dan perjuangan” (seperti yang dilakukan oleh Neo-Marxisme dan Critical Legal Theory).

Hegel

Hukum adalah expresi dari kemauan umum (general will) yang tidak mampu melihat bahwa faktor-faktor utilitaritis dan kepentingan-kepentingan dalam menentukan existensi hukum.

Atas kemauan-kemauan itulah maka hukum sangat diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan kepada manusia.

Hegel hendak menemukan kembali yang mutlak pada yang nisbi. Yang mutlak ialah kesadaran, namun kesadaran menjelma dalam alam dengan maksud agar secara demikian menyadari diri sendiri, Pada hakikatnya kesadaran adalah idea, artinya pemikiran.

Di dalam sejarah umat manusia pada suatu masa pemikiran ini menyadari dirinya sendiri, demikian umat manusia menjadi peserta dalam idea mutlak. Yaitu Keilahian.

Savigny

Timbulnya hukum itu dengan timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki ciri-ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal. Pandangannya ini jelas menolak cara pemikiran penganut Aliran Hukum Alam.

Konsep Hegel tentang “ide semesta” (roh universal), rupanya mengusik para penulis Jerman yang beraliran romatik-historis.

Bagi mereka, tidak ada yang namanya “jiwa universal” itu, yang ada justru “jiwa bangsa-volkgeist”. Kalaupun toh “jiwa universal” itu ada, ia tidak bisa menegasi “jiwa bangsa” di tingkat lokal, “jiwa bangsa” itu merupakan satuan mandiri, dan tidak tunduk pada “jiwa universal” ala Hegel

Karl Marx

Hukum sebagai orang berpunya. Betapa hebatnya pengaruh kuasa ekonomi terhadap kehidupan manusia, Ia mengatakan, siapapun yang menguasai ekonomi, maka akan menguasai manusia.

Dalam masyarakat, ekonomi merupakan struktur bawah yang memberi bentuk dan corak pada semua yang ada pada struktur atas.

Oleh karena itu, hukum, ajaran agama, sistem politik, corak budaya, bahkan struktur masyarakat, sebenarnya tidak lain adalah cerminan belaka dari sistem ekonomi yang ada dibaliknya.

Manusia adalah mahluk yang bermasyarakat, yang beraktivitas, terlibat dalam suatu proses produksi.

Hukum di dalamnya tidak ada keadilan, hukum sebagai tatanan keadilan hanyalah omong kosong. Faktanya hukum hanya melayani orang-orang yang berpunya.

Zaman Abad Ke XX

Bersamaan dengan kiat kuatnya peran negara dan hukum (hukum negara) dalam segala aspek kehidupan sosial, juga memunculkan bebagai sikap.

Ada yang berusaha membangun teorisasi mengenai hukum dan masyarakat, seperti Max Weber.

Ada pula yang menawarkan jalur yang lebih praktis untuk mengurangi ekses ketidakadilan akibat kekakuan aturan hukum negara itu (seperti yang dilakukan oleh eksponen Realisme Hukum Amerika).

Tapi ada juga yang berusaha meneguhkan otonomi hukum negara melalui jalur tertib yuridis (seperti yang dilakukan oleh Hans Kelsen).

Jika pada zaman hukum positive berkembang rasionalisme, zaman sekarang dari rasionalisme dilengkapi dengan empirisme.

Roscoe Pound

Hukum adalah alat untuk memperbaharui (merekayasa) masyarakat, hukum tidak boleh dibiarkan mengawang dalam konsep-konsep logis-analitis ataupun tenggelam dalam ungkapan-ungkapan teknis yuridis yang terlampau ekslusif. Sebaliknya, hukum itu mesti didaratkan di dunia nyata, yaitu dunia sosial yang penuh sesak dengan kebutuhan dan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing.

Hukum itu berbeda antara law in books dengan law in action, selain itu, ia mengemukakan pentingnya suatu studi yang cermat terhadap pelaksanaan dari institusi hukum.

Untuk merubah suatu keadaan diperlukan suatu langkah progresif yaitu memfungsikan hukum untuk menata perubahan. (law as a tool of social engineering). Apa yang harus ditata oleh hukum. Adalah menata kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat, agar tercapai keseimbangan yang proporsional.

Gustaf Rudbruch

Berusaha mengatasi dualisme antara Sein dan Sollen, antara “materi” dan “bentuk.
Radbruch tidak mau jatuh pada kesesatan yang sama. Ia memandang Sein dan Sollen, “materi” dan “bentuk” sebagai dua sisi dari satu mata uang. Materi” mengisi “bentuk” dan “bentuk” melindungi “materi”. Itulah kira-kira frasa yang tepat untuk melukiskan teorinya tentang hukum dan keadilan.

Nilai keadilan adalah “materi” yang harus menjadi isi “materi hukum”. Sedangkan aturan hukum adalah “bentuk” yang harus melindungi “nilai keadilan”. Hukum adalah merupakan “Kulturwissenschaft”. Esensi hukum bukanlah “tatanan formal dari norma-norma” seperti “kelsen”. “kultur” bertujuan merealisasikan “nilai-nilai”, dan hukum bukanlah wilayah “akal murni-kant”, tetapi wilayah “akal praktis”.